13/02/2011, at Rumah
Kata demi kata
berusaha kurangkai pada sebuah dokument kosong di dalam netbookku. Hampir sudah
melibihi tiga halaman dengan ukuran font yang hanya sebelas dan spasi satu. Di
awal tulisanku, aku sedikit bercerita tentang siapa saja berhak peduli terhadap
lingkungannya, termasuk aku dan teman-teman matematikaku yang dahulu pernah
bersama-sama melakukan konservasi lingkungan melalui penanaman mangrove, ya
begitu singkatnya. Karena memang aku berniat mengikut sertakan tulisan itu pada
sebuah sayembara menulis pengalaman hijau.
Namun, seperti
sayur tanpa garam, rasanya tak sedikitpun dari isi tulisan mewakili perasaanku
pada saat itu, perasaan senang, perasaan lelah, perasaan bahagia ketika bersama
teman-teman. Hingga belum sudah kurampungkan isinya, aku sudah memutuskan untuk
menghentikannya sejenak. Dan kuputuskan untuk membuka beberapa buku serta
dokument lama, yang kuharapkan bisa membantuku menemukan feel yang kucari dan
bisa kutuangkan dalam tulisan itu. Tetapi tetap saja gagal.
Membuka dokument
lama sontak mengingatkan ku pada beberapa wajah yang dahulu sering menjadi
penghias indah hari-hariku. Beberapa foto yang nampak hitam karena hanya berupa
fotokopian yang menjadi lampiran pada sebuah laporan pertanggung jawaban
kegiatan tidak lantas membuat wajah kalian hitam pula di hatiku.
kawan pernahkah kalian
mendengarkan sebuah cerita tentang sekumpulan ikan kecil yang berenang ke muara
sungai? Jika memang belum, ijinkan ku ceritakan kisahnya pada kalian.
Dahulu disebuah
aliran anak sungai, terdapat sekumpulan ikan-ikan kecil yang tidak terlalu
banyak jumlahnya. Mereka dipertemukan di sebuah tepian anak sungai yang
lebarnya pun tidak begitu lebar, tetapi cukup untuk mereka berkumpul. Setiap
hari mereka bersama-sama, mulai dari mencari makanan, berkumpul, bercanda,
sampai bertahan dari arus sungai yang terkadang tiba-tiba deras. Waktu yang
terus berjalan semakin membuat mereka menjadi tumbuh besar, hingga suatu hari
mereka sempat berbincang. “kawan lihatlah tubuh kita sudah semakin besar, anak
sungai inipun sudah tidak sanggup menampung kita semua, dan aku pikir kita
tidak selamanya harus seperti ini, kita harus menyusuri seluruh aliran sungai
yang berada di depan kita jika kita ingin menjadi ikan yang tangguh, dan
meskipun kita saat ini berpisah, kita harus berjanji akan berkumpul kembali di
muara sungai”. Setelah perbincangan itu setiap ikan kecil yang telah tumbuh
dewasa memutuskan jalannya sendiri , mereka berpisah dengan menyusuri aliran
sungai yang berbeda. Namun mereka selalu berjanji akan bertemu kelak di muara
sungai karena sebuah ikatan persahabatan.
***
Kisah persahabatan
memang selalu bisa menyaingi kisah percintaan, meskipun kisahnya tidak sehebat
kisah Jack dan Rose Dawson dalam film Titanic, ataupun kisah roman Romeo dan
Juliet. Cerita persahabatan selalu menjadi inspirasi banyak orang, termasuk aku
yang saat ini tengah membuka lembaran foto-foto mereka. Sampai pada lembar
cover belakang aku tengah sadar, bukan dokument ini yang aku butuhkan untuk
menyelesaikan tulisanku itu, tetapi kalian semua kawan. Cerita tentang kisah
perjuangan kita, bau lumpur yang selama beberapa hari melekat di tubuh,
biji-biji mangrove yang kita petik bersama, patokan tali rapia yang kita
tancapkan di petakan tanah berlumpur, dan kaki salah seorang kawan yang sempat
terluka karena terjatuh di dalam parit.
Jikalau saat ini
kisa terpisah dengan perjuangan menggapai mimpi kita masing-masing, aku bangga
dengan kalian. Dan akan aku tuliskan disebuah batu karang yang terjal “kita
semua sahabat”.
Catatan:
Tulisan ini aku persembahkan atas rindu kepada segenap
kawan matematika angkatan 2008 Untirta, terlebih khusus linda, arina, hanna
filen, fikri hasan, rafiudin, aditya pratama, neng intan, rofiroh, entin sholihah,
fauzul imam, M agus susenda, dan kawan-kawan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar