Pages

Labels

new posting

Selasa, 07 Februari 2012

SERIBU MANGROVE UNTUK BANTEN



Saat menuliskan pengalaman ini, maka saat itu pula aku harus kembali membuka nostalgia lama di pertengahan awal tahun 2009. Aku masih teringat pada sebuah sms di handphoneku dari seorang dosen pada saat itu. ”Nom, bagaimana persiapan acara pendidikan lingkungan ?”. Memang hampir dua bulan lebih, setelah awal perkuliahan pada semester kedua dimulai. Aku dan beberapa kawan, disibukan dengan persiapan kegiatan kuliah lapangan pendidikan lingkungan, yang rencananya akan diselenggarakan di bulan Mei 2009.
Semua ini berawal ketika aku yang menjadi bagian dari 103 mahasiswa program studi pendidikan matematika Untirta angkatan 2008, harus mengambil kontrak mata kuliah pendidikan lingkungan di semester kedua. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, jika mata kuliah ini mengantarkanku pada sebuah perenungan. Benar rupanya, bahwa “Lingkungan menjadi tanggung jawab bersama”. Tanpa perlu membeda-bedakan status, agama, golongan, hingga latar belakang pendidikan, ataupun selalu beranggapan sudah ada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas lingkungan, hingga akhirnya terbentuk pola pikir, bahwa lingkungan bukan lagi menjadi urusan kita semua.
Rupanya ada hal unik yang aku rasakan pada saat menjalani mata kuliah ini. Dua per-tiga dari masa perkuliahan, mengharuskan aku dan kawan-kawan menjalaninya secara mandiri, melalui seminar kecil di dalam kelas. Kami diharuskan mempersentasikan sebuah laporan berbentuk makalah yang berisi isu tentang lingkungan, di mana setiap makalah dibuat oleh satu kelompok studi yang maksimal terdiri dari 10 orang, serta mewajibkan setiap kelompok membawa seorang narasumber yang berkompeten di bidang lingkungan sesuai dengan isi makalahnya. Rutinitas ini menjadi hal yang menarik bagiku, tidak lagi sebagai perkuliahan yang hanya terpenjara di dalam ruangan berbentuk kubus, namun ternyata perkuliahan ini membawaku pada kenikmatan karena dapat lebih mendekatkan diri dengan lingkungan, meskipun dari sebuah bangku kuliah di dalam kelas.
Setiap seminggu sekali aku bertemu orang-orang hebat, sedikitnya mulai dari staf ahli DLH Kota Serang, staf ahli DLH Kota Cilegon, guru-guru SMA 4 Pandeglang yang sekolahnya terkenal dengan sebutan sekolah “adiwiyata”, pihak pengolahan TPS “Tempat Pembuangan Sampah” Kabupaten Serang, instansi pengolahan air bersih, pihak pengolahan limbah rumah sakit, pihak pengolahan usaha pupuk kompos, perintis pembuatan bahan bakar gas kotoran hewan di Kota Serang, dan salah seorang peraih penghargaan kalpataru, sebagai seorang yang berjasa dalam pencegahan abrasi pantai di wilayah serang, turut menjadi narasumber yang bersedia membagi ilmunya dalam bidang konservasi dan pendidikan lingkungan padaku.
Banyak pesan yang diperoleh dari proses perkuliahan yang telah aku jalani saat itu, tentunya dengan mengundang berbagai narasumber yang terjun langsung dengan lingkungan menambah perhatianku, bahwa bidang apapun yang kita geluti, pada akhirnya harus berguna untuk masyarakat dan lingkungan sekitar kita.Alam tidak seperti sekumpulan orang yang bisa diubah lewat motivasi atau kata-kata menggugah, karena alam tidak hanya membutuhkan kata-kata, tetapi alam lebih membutuhkan bukti nyata kepedulian kita”.
***
Aku tidak terlalu ingat kapan tepatnya, siang itu aku berkumpul di pelataran bangunan gedung Rektorat Untirta bersama 21 orang kawanku. Aku menyebut mereka “para pelestari”, begitulah kiranya, sebab merekalah orang-orang yang secara sukarela menawarkan dirinya untuk bergabung dalam kepanitian persiapan kuliah lapangan pendidikan lingkungan pada saat itu.  Hari itu menjadi pertemuan kami yang pertama. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari penentuan ide kegiatan, struktur kepanitian, hingga pada tataran teknik persiapan, semua harus dilakukan secara mandiri. Namun, belum sempat kami menuangkan ide, kami harus dihadapkan pada tekanan kebiasaan lama, terkait dengan pelaksanaan kegiatan kuliah lapangan pendidikan lingkungan dan juga pandangan dosen terhadap kegiatan yang memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun itu, yakni adanya pandangan, bahwa kegiatan tersebut hanya memungkinkan sebagai kegiatan kunjungan, dengan alasan melihat kondisi mahasiswa yang berjumlah 103 orang dan hampir 90 persennya adalah perempuan, maka kegiatan ini dicukupkan sebagai kunjungan kepada suatu intansi yang turut serta konsen melakukan pemberdayaan lingkungan.
Sungguh semua itu menimbulkan keresahan dan rasa penyesalan dalam benakku pada saat itu,  jika kegiatan ini hanya berupa kunjungan kepada sebuah instansi yang ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan. Lalu di mana bukti kepedulian nyata aku dan kawan-kawan? Dan apa bedanya dengan mengundang narasumber ke dalam kelas? Jika hanya harus melihat, mendengarkan orang bercerita tentang pengalaman dan usaha konservasi lingkungannya, tanpa langsung menjadi bagian dari pelestarian lingkungan itu sendiri. Aku kira hal kecil ini lah yang selalu orang abaikan, banyak orang yang menyadari bahwa menjaga lingkungan itu sangat penting, tetapi hanya sedikit orang yang menyadari, bahwa kesadarannya yang begitu besar itu tidak akan berarti apa-apa, tanpa adanya tindakan yang mengirinya.
Berakhir pada sebuah ketidakpastian kegiatan, pertemuan tersebut masih hanya menghasilkan sebatas wacana ide dan hanya seputar struktur kepanitiaan. Sampai pada akhirnya aku bersama tim kepanitian berkumpul dan bertemu dosen terkait, Ibu Lussiani Dewi Assaat, S.pd. Menceritakan hasil pertemuan pertama kami, dan mencoba mengusung ide kegiatan yang tidak sekadar kunjungan, serta mencoba keluar dari kebiasaan lama. Nampaknya ibu lussi —begitulah beliau kami sapa— cukup tertarik, hingga tak terasa beberapa jam sudah kami lewati dengan memperbincangkan permasalahan kegiatan yang mungkin digulirkan.
Berawal dari sebuah ide kawan kami —Fikri Hasan— yang pada saat itu pun bergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam. Menawarkan ide untuk menindak lanjuti hasil-hasil seminar kecil yang telah kami lalui. “Ada sebuah fakta yang harus Banten hadapi, memang banyak sekali permasalahan yang belum terselesaikan, kunci utamanya karena kesadaran masyarakat yang masih bisa dibilang sangat rendah dalam bidang lingkungan. Akan tetapi, jika merujuk pada kondisi wilayah provinsi Banten yang satu per-tiganya dikelilingi oleh perairan, dan hanya wilayah timur saja yang berbatasan dengan daratan. Kenyataan pahitnya adalah permasalahan pengikisan bibir pantai akibat abrasi yang telah terjadi cukup lama di Banten. Dan sedikitnya beberapa wilayah yang mengalami hal itu adalah pantai Lontar Kecamatan Tirtayasa, Pulau Dua atau Pulau Burung, hingga pantai Karangantu Kasemen. Walaupun faktor alam menjadi penyebab abrasi, namun ternyata tidak dimungkiri, bahwa ada campur tangan manusia yang turut pula menjadi penyebabnya, dengan maraknya pengerukan pasir pantai”. Hal itu pun dibenarkan olehku, kami sempat mengundang Bapak Madsahi, seorang pelestari lingkungan yang secara konsisten dari sekitar tahun 90-an, melakukan perbaikan sedikit demi sedikit pada daratan yang telah hilang akibat abrasi, melalui penanaman pohon mangrove satu demi satu. Beliau pun sempat menuturkan “Masyarakat serang masih kurang peduli terhadap masalah abrasi ini, mereka lebih memilih mendirikan tambak-tambak dan melakukan pengerukan pasir, sekalinya mereka melihat pohon mangrove, mereka memotongnya untuk kayu bakar. Bahkan pernah menodongkan pistol padaku karena ulahku yang secara rutin menanam pohon mangrove di sekitar Pulau Dua, coba saja jika masalah ini dibiarkan, lambat laun Banten akan hilang dari peta”. Maka setelah melakukan diskusi yang cukup panjang dan mendengarkan pemaparan kawan-kawan, tercetuslah ide penanaman mangrove di pesisir pantai Banten.
Lewat semua itu, kami semakin mantap menyiapkan acara konservasi lingkungan ini. Pembagian tim kembali diubah, sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, yang paling utama adalah tim survey lahan lokasi penanaman yang paling tepat dan memang membutuhkan. Saudara Agus Sihabudin lah yang mengkoordinirnya pada saat itu, dipilihnya lah pantai Lontar sebagai lokasi yang benar-benar kritis. Sebuah desa yang terasingkan jika laut sedang pasang, karena akses jalan menuju ke sana terendam air laut. Hampir 6 sampai 7 meter bibir pantai terkikis setiap tahunnya, sekiranya begitulah penuturan masyarakat setempat. Kata mereka, dahulu wilayah pantai Lontar tidak seperti sekarang ini —yang sejauh mata memandang hanya perairan berlumpur sisa peradaban dan pemukiman masyarakat cina. Pada saat melakukan observasi lahan penanaman, ternyata di sana sedang dilakukan pemasangan batu penyangga arus gelombang air laut. Hal itu semakin memperkuat tekad kami untuk menjadikan pantai lontar sebagai tempat penanaman mangrove, karena proses pertumbuhan mangrove tidak akan terlalu terganggu hanya karena adanya gelombang pasang.
Sore itu kami coba temui beberapa aparatur desa, yang boleh dibilang “mengusai” daerah tersebut untuk mengurus perijinan. Namun, tidak satupun dari mereka yang berhasil kami temui. Selang beberapa hari ternyata Agus melakukan proses perijinan sendiri, walaupun memang telah melakukan kordinasi sebelumnya denganku yang pada saat itu menjabat sebagai penanggung jawab seluruh kegiatan.
***
Sebuah sms dari Agus Sihabudin masuk ke inbox hp ku , akan tetapi tertulis nama Agus Pontang disitu, sebab sapaan akrab itu yang sering digunakan untuk memanggilnya. memintaku untuk segera menemuinya di halaman pusat kegiatan mahasiswa pada saat itu juga. Dari ketikan smsnya menyiratkan ada perihal kabar buruk yang akan disampaikan. Tanpa basa-basi, aku kumpulan segenap panitia untuk melakukan rapat darurat, menemui Agus Pontang yang sudah sedari tadi menunggu di tempat  yang telah kami sepakati.
“Nom, kayaknya kita harus cari tempat lain”.
“Kenapa?” Selidikku.
“Kemarin gue ke sana, gue udah ketemu sama salah seorang aparatur daerah setempat, gue ngomong banyak disitu perihal niatan kita, dan lo tahu nggak apa jawabannya, awalnya beliau merespon baik niat kita, namun ternyata tempat yang akan coba kita tanam, lebih dipilih untuk dibangun tempat pelelangan ikan, ketimbang harus ditanami pohon mangrove.” Agus menjelaskan.
“Ini yang sebenarnya gue khawatirkan, mereka kurang sadar kalau terus menerus dibiarkan seperti itu, habis tuh pantai. Kalau memang sekarang udah dikasih batu-batu penyangga gelombang, gue yakin semua itu nggak akan bertahan lama, lo lihat kan di sana para nelayan susah nyari ikan. Setidaknya kalau di sana ditanami pohon mangrove, ikan-ikan juga nggak akan hilang seperti saat ini”. Sanggah fikri yang pada saat itu terlihat emosi karena memang harapannya melakukan penanaman mangrove begitu tertuju pada pantai lontar.
Ternyata sebuah niat baik tidak pernah selalu bisa berujung baik, tanpa bermaksud berpikir negatif, kami hanya berharap semoga suatu saat nanti masyarakat pesisir pantai Lontar sadar akan pentingnya menanam pohon mangrove ini, tanpa hanya mementingkan sisi komersialisasi pemanfaatan sumber daya perairan saja yang secara bebas di eksploitasi secara berlebihan.
Mengingat bom waktu yang seolah-olah semakin berdetak cepat, satu minggu lagi pelaksanaan penanaman mangrove akan dilaksanakan. Tetapi kami harus dihadapkan pada permasalahan birokrasi perijinan yang nyatanya memang tidak mengijinkan. Ditambah permasalahan bibit mangrove yang belum juga kami dapatkan, karena menurut penuturan tim humas yang mencoba melakukan kordinasi dengan pihak dinas terkait, hasilnya nihil pada saat itu. Sehingga peluang yang muncul, hanya jika kami membelinya dari tempat penyemaian mangrove yang dilakukan masyarakat. Dan harganya pun tidak murah, sedangkan kami memulai kegiatan ini hanya dengan dana nol rupiah, artinya kami tidak mempunyai dana sepeserpun untuk memesan bibit.
Jelas nampak kerutan di dahi kawan-kawan, mencoba memutar otak atas permasalahan yang kami hadapi. Tidak mungkin jika harus membanting stir, merubah haluan arah perjalanan ini. Dan aku coba yakinkan bahwa ini adalah sebuah perjuangan kami untuk alam. Dengan segenap keyakinan, aku mencoba mengambil komando, meminta beberapa orang untuk ikut denganku melakukan perjalanan investigasi di sepanjang pesisir pantai, mencari lahan-lahan kritis lainnya. Dan meminta teman-teman untuk tetap tenang serta melanjutkan target-target persiapan yang masih tertunda.
Langit menunjukan waktu senja akan datang, perjalanan dimulai dari sepanjang Pantai Domas, menyusuri bibir pantai dan berlabuh di Pulau Dua. Dengan harapan bertemu bapak madsahi untuk coba dimintai pendapatnya atas permasalahan ini. “Menanam mangrove ternyata memiliki permasalahan yang cukup kompleks, hama yang mengganggu pertumbuhan mangrove pun cukup banyak. Kemungkinan tumbuh pun sedikit, dari 100 bibit yang ditanam belum tentu 50 % nya akan tumbuh, dan pemilihan bibit pun harus benar-benar diperhatikan, karena tidak semua bibit yang telah mengalami penyemaian cocok dengan area tanam. Permasalahan itulah yang sering tidak diperhatikan bagi mereka yang sudah mencoba menanam bibit mangrove, jadi tidak satupun bibit mangrove tumbuh”. Masih teringat cukup jelas pemaparan Bapak Madsahi pada saat itu. Sehingga beliau pun menyarankan kepada kami untuk melakukan penanaman di pantai Karangantu saja, dengan banyak pertimbangan tentunya.
Sudah lelah badan ini. Namun, perjalanan tetap dilanjutkan. Dari Pulau Dua kami menyusuri jalan menuju pantai Karangantu, dan seingatku tidak terlalu lama kami disana. Setelah melihat lahan yang mungkin ditanami. Hambatan baru kembali muncul, terbayang sudah alur birokrasi baru yang perlu kami lalui hanya untuk mengurus perizinan.
Senja telah tiba, sepeda motor yang kami tunggangi sudah penuh dengan lumpur —yang menjadi oleh-oleh sisa perjalanan. Berbekal semua informasi yang kami dapatkan, satu per satu permasalahan coba kami pecahkan. Dan puji syukur atas keagungan Allah SWT, sebuah angin segar menghampiri kami. Kami mendapat bantuan untuk masalah perijinan dari pihak DLH Lebah Banten yang juga mendukung acara penanaman mangrove ini.
Hanya tinggal menghitung hari, sesuai jadwal pelaksanaan penanaman mangrove yang pada saat itu bertepatan pada tanggal 20 Mei 2009. Permasalahan lain adalah bibit-bibit mangrove belum juga didapatkan. Jika harus memaksakan untuk membeli, itu menjadi hal yang sangat berat buat kami. Maka satu-satunya cara adalah memetiknya langsung dari pohonnya.
Tim pun dibagi kembali dalam beberapa kelompok, untuk menyiapkan persiapan pemetikan bibit-bibit mangrove. Masih ingat jelas di memoriku, kami merencanakan fase pemetikan bibit dalam dua tahap, yakni tahap pertama pada hari sabtu dengan agenda kegiatan fokus melakukan pemetikan, dan tahap kedua pada hari minggu dengan agenda melengkapi jumlah kekurangan bibit serta menyiapkan area lahan penanaman, yang disesuaikan dengan teknik tanam yang digunakan.
Nampaknya, hambatan-hambatan begitu akrab dengan kami. Belum sempat kami melakukan pemetikan di hari pertama, kami sudah dihadapkan pada keputusan sepihak dosen untuk menunda acara penanaman. Dengan alasan utama anak beliau sakit, sehingga tidak memungkinkan acara ini dilanjutkan tanpa pengawasan beliau. Sepontan keputusan ini membuatku shock. Dengan semua persiapan yang sudah kami lakukan, termasuk bekerja sama dengan banyak pihak, sehingga tidak memungkin jika kegiatan ini dipending, sampai batas waktu yang tidak bisa ditetapkan pula, atau sampai anak beliau sehat kembali.
Perdebatan pun tidak bisa terelakan, baik antara kami dengan dosen terkait ataupun dalam tubuh kepanitian itu sendiri, tentu menjadi hal yang sulit ketika keputusan sudah terucap dari seorang dosen, karena pada dasarnya kegiatan ini pun terselenggara atas seijin beliau.
Sebagai penanggung jawab kegiatan, lagi-lagi sebuah keputusan yang berat harus kubuat. Apakah harus aku turuti kemauan dosen? Ataukah aku harus tetap menjalankan rencanaku semula, melakukan pemetikan bibit mangrove dan menjalankan kegiatan sesuai rencana?. Hal ini menjadi dilema tersendiri buatku. Ditambah tidak ada pula kebutusan bulat yang diperoleh dari diskusi panitia yang terasa begitu menegangkan pada saat itu, sehingga semua keputusan pun harus aku yang menentukan.  Hingga pada akhirnya dengan segenap keberanian dan keyakinan, aku putuskan pada hari itu kami tetap melakukan pemetikan bibit. Tanpa bermaksud tidak mengindahkan keputusan dosen tentunya. Dan aku dengan salah seorang kawanku pun menemui beliau yang sudah sedari tadi menunggu kami di rumah sakit untuk membicarakan perihal kegiatan ini, sedangkan sisanya berangkat ke Karangantu untuk melakukan pemetikan bibit.
Siang hari begitu terik pada saat itu. Setelah kutemui dosen dengan sigap ku susul kawan-kawan yang sudah melakukan pemetikan lebih dahulu. Nampak akar-akar pohon mangrove menjulang tinggi dengan ranting yang tidak begitu kokoh, jarak tanaman yang begitu rapat kerap menjadi sarang-sarang nyamuk liar, lumpur  yang selalu menyimpan jebakannya terus menghantui setiap langkah, hingga banyaknya parit-parit kecil harus kami lompati demi menggapai satu sekumpulan bibit ke sekumpulan bibit lainnya. Sebelumnya memang kami sudah mendapat pengarahan tentang bibit yang sudah pantas untuk dipetik —berbentuk besar dan panjang seperti kacang panjang, serta memiliki bintik-bintik hitam disekitarnya— sehingga ketika ditanam nanti kemungkinan tumbuh pun cukup besar. Ada pula kejadian yang membuat kami cukup kebingungan pada saat itu. Salah seorang kawan kami, Rofiroh namanya sempat terperosok ke dalam parit hingga menginjak sebuah akar pohon mangrove yang licin dan memang tajam,tak ayal membuat telapak kakinya pun sempat sobek dan mengeluarkan banyak darah. Kejadian itu pula yang menghentikan perburuan bibit kami di hari pertama.
***
Pagi itu kami sudah mengatur janji untuk berkumpul di kampus, melanjutkan perburuan kami di hari yang kedua dan berniat menyiapkan area-area tanam bagi bibit yang sudah kami petik. Dua karung kami peroleh di hari itu, dan jika diakumulasikan dengan hasil pemetikan di hari pertama mencapai lebih dari empat karung. Hari semakin siang, jarum jam tangan pun menunjukan pukul 14.00 WIB. Ketika jumlah bibit dirasa cukup, saatnya bagi kami memasang patok-patok bambu yang terhubung dengan tali rafia, membentuk bangun datar persegi panjang yang disusun rapat antara satu dengan yang lainnya, bak areal kawat merayap untuk para AKABRI. Panjang tali rafia dan jarak patokan diukur sedemikian hingga, disesuaikan dengan ketentuan jarak penanaman bibit, yakni satu meter antara bibit yang satu dengan bibit yang lain. Nampaknya kejadian di hari pertama tidak membuat kami jera untuk lebih berhati-hati, buktinya kini giliran kakiku menginjak ujung batu karang, meskipun tidak mengeluarkan darah, namun efeknya dirasa begitu parah, dari kejadian itu satu minggu lebih kakiku bengkak, hingga harus dibopong jika ingin berjalan.
Pemasangan patok berlangsung cukup lama hingga hari mulai senja. Sedikit demi sedikit kubangan lumpur di gali untuk membentuk aliran air, tiga area yang diperlakukan seperti itu. Pemasangan patok pun disesuaikan, ada yang menggunakan teknik lurus dan ada pula yang menggunakan teknik zig zag. Perbedaannya terletak pada hambatan-hambatan yang akan dihadapi bibit mangrove, jika penanaman yang menggunakan teknik zig zag adalah penanaman yang langsung berhadapan dengan arus air laut, sebaliknya penanaman yang menggunakan teknik lurus adalah penanaman yang dilakukan pada area yang tidak langsung berhadapan dengan arus air laut.
Mandi lumpur menjadi sauna hangat di tengah dinginnya hebusan angin senja pantai, tubuh ini serasa begitu lekat dengan aroma asin air laut. Lalu seusai membendung lumpur tadi, bibit mangrove disimpan di tempat yang agak berair agar tidak kering tersengat terik matahari. Pemetikan bibit mangrove dihari kedua pun berakhir dengan ditandai terbenamnya mentari di ufuk barat.
Tibalah hari yang dinanti, 19 Mei 2009. 103 mahasiswa matematika angkatan 2008 Untirta berkumpul di depan gedung rektorat pagi itu, tiga buah bus—hasil pinjaman—terparkir di samping jalan masuk. Berduyun duyun kami meluncur ke tempat tujuan, sesampainya disana kami pun disambut hangat oleh pihak pengelola pelabuhan, tempat kami transit sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat penanaman yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. 103 mahasiswa pun dibagi dalam tiga kelompok area penanaman, kami sebut dengan area 1, area 2, dan area 3. Pada saat penanaman mangrove berlangsung, pada awalnya ada keraguan yang timbul dan rasa kekhawatiran panitia, terkait peserta yang di dominasi oleh para kaum hawa. Namun semua kekhawatiran itu akhirnya sirna dan menimbulkan rasa haru dan bangga, khususnya bagiku yang pada saat itu menjadi penanggung jawab seluruh kegiatan. Ketika mendengar pengakuan salah seorang peserta yang sempat mengatakan “ wah, gue tidak menyangka kegiatan ini ternyata seru juga ya. Apalagi tadi waktu gue harus terendam lumpur hampir sedada sampai-sampai kaki gue sempat keram di dalam lumpur, tapi sumpah seru banget.”
***
Buatku pengabdian ini belum apa-apa, jika membandingkan semua hal yang telah alam berikan untukku, angin yang begitu sejuk, deburan ombak yang membusa di bibir pantai, akar-akar mangrove yang menjadi habitat ikan-ikan kecil, batang mangrove yang mampu mengobati beberapa jenis penyakit bagai seorang tabib, laut yang selalu menyediakan kehidupan bagi nelayan, dan bibit mangrove yang memberikan sebuah pelajaran. Mengajarkan arti kehidupan,“bertahan hidup dari banyaknya hama, tumbuh besar menjadi pohon mangrove yang sebenarnya, hingga berbuah dan menjatuhkan kembali bibit-bibitnya ke tanah berlumpur, untuk kembali meneruskan perjuangan menahan terpaan gelombang air laut, demi mencegah abrasi pantai.”
Sebuah persembahan “SERIBU MANGROVE UNTUK BANTEN”.

Catatan:
Cerita ini aku persembahkan untuk dosenku tercinta, Ibu lussiani Dewi Assaat, S.pd, 21 orang “para pelestari” yang tergabung dalam kepanitian pendidikan lingkungan, mahasiswa matematika angkatan 2008 Untirta, pihak-pihak yang pernah mendukung terselenggaranya kegiatan ini, Tria Achiria yang terus menanti kekasihnya yang juga merupakan salah seorang “para pelestari”. Dan teman-teman yang telah membantu membuka kembali memori lama terkait kegiatan ini, serta teman-teman lainnya yang tidak sempat pula aku sebutkan namanya. 

0 komentar:

Posting Komentar