Pages

Labels

new posting

Selasa, 07 Februari 2012

KEBERHASILAN: MEMAKNAI SEBUAH PROSES


30 April 2011/rumah tercinta
Oleh: Anom Fajar Puji Asmoro

Belakangan ini rasanya sulit sekali buatku menulis, entah mengapa? Beberapa kalimat yang coba kubangun, selalu harus berhenti di paragraf pertama dan tak pernah bisa kulanjutkan lagi. Mungkin beginilah nasib sang penulis amatir sepertiku yang sedang mencoba belajar menulis tetapi jauh dari latar belakang dunia kepenulisan sebelumnya. Dan rasanya masih selalu terjebak dalam alur pemikiran yang kubaca dari tulisan-tulisan orang lain, hingga belum bisa seutuhnya menjadi diri sendiri. Dimana setiap gagasan yang coba dibangun pun tak begitu kokoh. Ah tapi tak apalah. Barangkali pijakan tangga pertama ini yang mesti kulewati jika aku ingin bisa menapaki tangga selanjutnya—belajar dari tulisan orang lain—sebagai seorang penulis seutuhnya.


suatu waktu pun sempat aku membaca sebuah buku yang berisi tentang kisah-kisah inspiratif, diceritakan disana ada seorang anak yang melihat seekor ulat yang telah berubah menjadi kepompong dan tak lama lagi ulat itu akan berubah menjadi kupu-kupu—mungkin dalam beberapa menit. Melihatnya yang begitu sulit keluar dari cangkang kepompongnya, tiba-tiba sang anak pun merasa iba. Akhirnya dia berinisiatif untuk merobek sedikit demi sedikit cangkang kepompong tersebut dengan maksud membantu sang kupu-kupu muda keluar dari kepompong. Namun, ketika melihatnya telah keluar. Didapatinya kupu-kupu yang bersayap pendek dan berbadan gemuk. Berbeda jika dibandingkan kupu-kupu pada umumnya yang bersayap lebar, indah dengan badan yang tidak terlalu besar. Seketika setelah itu, lagi-lagi sang anak membantunya. Kali ini dia mengangkat kupu-kupu muda tersebut dan menerbangkannya. Akan tetapi sayap-sayap pendeknya hanya bisa membantunya untuk berjalan merayap di tangkai bunga.
Meskipun kisah tersebut bukanlah kisah baru. setidaknya dapat menjadi sebuah perenungan khususnya buatku. Sulitnya sang kupu-kupu muda keluar dari kepompong, pada dasarnya adalah sebuah proses yang harus dia lewati. Ketika cairan yang pada awalnya menggumpal di dalam tubuh kupu-kupu tersebut, dan pada saat tubuh bergesekan dengan cangkang kepompong maka cairan tersebut akan mengalir ke setiap sayap-sayapnya yang bisa membuat sayap tersebut lebar dan mengembang. Inilah yang diajarkan Allah pada kita, memahami sebuah proses. Bayangkan saja, jika seseorang terlahir kedunia ini tanpa terlebih dahulu menjadi seorang bayi, anak-anak, remaja hingga pada akhirnya dewasa. Tentu aneh rasanya. Dan mungkin saja yang akan kita temui seorang bapak-bapak ataupun ibu-ibu masih bermain dikubangan lumpur dan menangis ketika permen yang tengah diemutnya jatuh ketanah.
Di jaman yang banyak menawarkan paket cepat seperti saat ini, banyak orang yang begitu cepat memperoleh popularitas namun cepat pula ia dilupakan, ataupun banyak orang yang begitu cepat memperoleh kedudukan dalam sebuah intitusi dan organisasi namun tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Proses dalam mencapai suatu kematangan lah mungkin sulit kita sadari, memahami hasil akhir sebagai satu-satunya tujuan nampaknya masih menjadi seperti sebuah barang yang laku dipasaran. Dan mencari jalan yang paling cepat mendapatkan sesuatu yang diinginkan masih pula menjadi pilihan yang banyak dipilih orang, tanpa memaknai sebuah rentang waktu perjalanan hidup yang tidak Allah berikan secara instan sebagai proses pendewasaan.
***
Pernah pula disuatu malam kawanku bercerita tentang masalah yang tengah dia hadapi. Posisinya di organisasi yang ia jalani saat ini menuntutnya tahu banyak hal sekaligus memberikan kebijakan-kebijakan terkait hal apapun yang akan dilakukan.

“Nom, gue capek”
“Capek kenapa?” selidikku
“Gue bingung, gue mesti gimana. Sebagai pemimpin gue ngerasa banyak teman-teman anggota yang kecewa sama gaya kepemimpinan gue.”
“Ko lu bisa nyimpulin begitu?”
“Ada lah pokoknya yang cerita ke gue. Dan gue bingung ngajak temen-temen supaya mau ngerti posisi gue. Belum gue harus mikir masalah dana, dan hal-hal yang lain, dan sekarang temen-temen anggota juga yang ada bisanya ngeluh. Gue pusing, coba lu bayangin nom, masang sepanduk aja mesti gue, sementara yang lain cuma liatin doank. Gue gak bisa kalau harus jalani semua ini sendiri nom”.
“Gue ngerti posisi lu, memang kesadaran akan sebuah tanggung jawab itu timbulnya dari hati, bukan dari sebuah perintah. Tapi gue pikir ada sisi baiknya hal ini terjadi. Dulu pada saat kita masih menjadi anggota biasa yang bisanya cuma komentar ataupun protes, dan sekarang ketika posisi itu telah berpindah ke kita setidaknya kita bisa sadar, coba lu bayangin sepusing apa para pemimpin kita dulu?”
“hahahaha..lu bener juga nom.”
“Inilah sebuah pembelajaran hidup baru buat kita, kita gak akan mengalami masalah ini jika kita tidak berada pada posisi seperti saat ini. Dan gue yakin ketika semuanya bisa dilewati, maka pada saat itu satu anak tangga telah kita lewati dan kita bisa meraih anak tangga selanjutnya, tetap semangat kawan”.

***
Sedikitnya perbincangan itu lah yang aku ingat antara aku dengan kawanku malam itu, sebelum akhirnya dia dijemput angkutan umum yang biasa mengantarkannya pulang kerumah. Dan aku pun mengambil sepeda motor yang aku parkir di dalam kampus, sembari meyakinkan diri
aku pun harus mampu menapaki setiap anak tanggaku sendiri”.


Catatan:
Terimakasih kawan atas sebuah pengalaman yang kau bagi untuku. Mari kita lewati semua fase ini sebagai pembelajaran hidup menuju kedewasaan. Kau dengan pilihan hidupmu sendiri dan aku dengan pilihanku sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar