Pages

Labels

new posting

Selasa, 07 Februari 2012

Sistem “Cepat Saji dan Siap Antar” bagi Kementrian Lingkungan Hidup


Oleh Anom Fajar Puji Asmoro

Bukan saatnya peraturan mempersulit suatu kebijakan, namun kebijakan pula bukan saatnya dipermainkan. Tidak sedikit peraturan yang dibuat seolah hanya untuk dilanggar, karena sistemnya yang begitu panjang dan membosankan. Hingga rakyat seakan jenuh bermain-main dengan lingkaran setan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. “Kami ada untuk melayani” hanyalah salah satu slogan yang sering  saya baca, ketika saya berkunjung ke instansi-instansi pemerintahan. Melayani siapa? Semua seakan tidak jelas, hingga terkadang terjadi banyak sekali antrean panjang atau orang yang hilir mudik hingga pusing karena disuruh ke sana ke sini. Bapak dinas sedang tidak ada di tempat; ke undanganllah atau bajunya yang terkena tintalah karena terlalu asik tanda tangan. Itulah beberapa peristiwa yang sering saya jumpai di instansi pemerintahan.

Suatu Instansi dibuat tentu sebagai sarana yang harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara terpadu, cepat, dan tepat. Memberikan konstribusi tanpa harus menyulitkan masyarakat dengan alasan bahwa semua ini karena sistem. Karena sesungguhnya suatu sistem dibuat untuk keteraturan karena kebijakan yang dikeluarkan adalah sebagai tanggapan atau respons terhadap gejolak-gejolak tuntutan yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat sebagai bagian ornamen dari sistem kenegaraan, yang seharusnya menjadi penentu suatu kebijakan, karena semata-semata semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan dijalankan oleh setiap perangkat daerah mulai dari pemerintahan Provinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan, Kelurahan hingga RW maupun RT ada untuk menyejahterakan rakyat. Namun kini rakyat hanya menjadi suporter setia yang berteriak keras di belakang kursi penonton. “Hutan kami gundul, sawah kami kering, panen kami menurun. Kami terperangkap karena jembatan hanyut terkena banjir, ikan di tambak-tambak kami mati semua, rumah kami tenggelam karena abrasi, rumah kami roboh karena erosi.”
Paradigma yang timbul dalam masyarakat memandang bahwa birokasi dan sistem yang dibuat oleh pemerintah hanya membuat mereka pusing, ongkos yang harus mereka keluarkan untuk pergi ke kantor pemerintahan lebih sering mereka perhitungkan daripada besarnya kebutuhan yang mereka harapkan dari pemerintah. Karena apa? Karena mereka pikir semua itu hanya akan sia-sia belaka. Contoh kasus, di daerah Tunjung Teja kawasan Kabupaten Serang Banten, untuk mencapai pusat pemerintahan mereka, penduduk setempat, harus naik ojek turun-naik bukit untuk sampai di pinggir jalan pemberhentian angkutan umum atau bus kota, dan masih memerlukan waktu beberapa jam lagi untuk sampai di pusat pemerintahan. Hingga masyarakat lebih suka memilih diam di desanya masing-masing, menunggu kesadaran dari pihak yang berwenang berkunjung ke desanya atau memberikan bantuan.
Dalam alur laju kebijakan yang terjadi pada saat ini, saya pikir ada dua sistem yang menggejala dalam tubuh instansi pemerintahan. Pertama adalah sistem ”bersih”, yaitu suatu tanggapan yang diusulkan masuk melalui biro umum, diolah lalu ditanggapi oleh pimpinan untuk kemudian disetujui ataukah tidak. Kedua adalah sistem ”kedekatakan (cukup telepon saja)”, yakni katakan kemauan anda lalu kami sediakan. Sungguh ironis ini semua terjadi di bangsa yang banyak sekali melahirkan pakar-pakar hukum yang terkenal.
Saya kira, inilah salah satu yang menyebabkan banyak terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan, mulai dari yang sifatnya ringan hingga berat. Sebagai contoh, banyak sekali berjamur peternakan-peternakan yang dibuat di perkampungan tanpa memperhatikan keadaan lingkungan sekitar dan tidak memenuhi persyaratan yang layak sebagai suatu peternakan, dan pengerukan pasir secara besar-besaran hingga menimbulkan efek yang begitu besar pada keadaan sosial di masyarakat karena kebijakan yang diambil masih belum objektif, masih terdapat kepentingan-kepentingan pribadi.
Padahal pada saat ini banyak sekali organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan, terutama organisasi kemahasiswaan seperti Mapala (Mahasiswa Penjelajah Alam), Mahasiswa Pencinta Tanaman, Relawan Desa, Tagana, hingga organisasi tataran nasional seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Green Peace, dan lain-lain. Mereka semua cukup konsen dalam keikutsertaan menjaga lingkungan melalui program-program yang dibuatnya. Namun sebagai bagian dari pendukung penyelenggaraan kebijakan pemerintah, organisasi-organisasi ini masih terkekang dalam aturan-aturan. Saya pikir, Mapala, Relawan Desa, Walhi, sebagai bagian dari masyarakat yang wajib ikut serta dalam beberapa kegiatan cinta lingkungan, menganggap respons yang diberikan oleh pihak-pihak instansi pemerintah yang semestinya konsen dalam bidang lingkungan masih sangat kurang optimal. Terbukti sering terjadi ketidaksingkronan dalam suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan atau masyarakat, sehingga yang timbul adalah ego masing-masing. Otoritas yang dimiliki oleh instansi pemerintah kini menjadi suatu otoriterian terhadap upaya-upaya yang dicanangkan untuk memperbaiki keadaan lingkungan, padahal lingkungan adalah permasalahan bersama yang perlu kita kaji dan kita ambil winning solutionnya secara bersama pula.
Kasus yang terjadi saat ini berupa eksternalisasi dari suatu kebijakan, memberikan suatu kewenangan kebijakan terhadap para investor-investor yang ingin mendirikan suatu badan usaha yang tidak mempedulikan dampak negatif bagi lingkungan. Semua itu membuktikan bahwa segala sesuatu dapat dipermainkan dan diperjualbelikan. Contoh lain yang terjadi diawal tahun 2010 adalah proyek pembangunan yang dilakukan suatu perusahaan air mineral untuk mendirikan perusahaan yang mengambil mata air di daerah Padarincang, Kabupaten Serang. Dampak langsungnya menimbulkan penolakan besar dari masyarakat setempat, elemen-elemen terkait, dan juga organisasi-organisasi pencinta alam termasuk Walhi Banten, dan dampak untuk jangka panjangnya eksploitasi air dengan kapasitas yang cukup besar tersebut tentu mengkibatkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan air bersih sehingga komersialisasi air dapat terjadi. Sekali lagi hal itu membuktikan permainan birokrasi dan oknum-oknum yang kurang memperhatikan aspek-aspek sosial maupun kelestarian lingkungan, karena alangkah baiknya dalam menetapkan suatu kebijakan terutama yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan perlu diadakan kajian dan pengujian terlebih dahulu. Mudah bagi mereka yang bayak uang tapi sulit bagi mereka yang hanya bisa berteriak dengan suara lantang ”masyarakat”. Seperti bermain ular tangga, jalan terus bagi yang punya mata dadu enam, tapi harus naik turun bagi yang hanya punya mata dadu satu. ”Kenapa harus dipermudah kalau bisa dipersulit”, menjadi guyonan yang terjadi di masyarakat karena terlalu lelah bermain birokrasi di pemerintahan.
Satu konsep baru saya pikir perlu digalakan sebagai bagian reformasi birokrasi yang menjenuhkan, karena alam bukan untuk dipermainkan atau diperjualbelikan seenaknya. Di tengah keadaan kerusakan lingkungan yang cukup kritis, kemudahan birokrasi, akses mengemukakan pendapat, objektivitas dari suatu kebijakan, pelayanan yang menyenangkan kepada masyarakat, pengaduan yang direspons secara cepat dan tepat, upaya pemerintah yang berkelanjutan menjadi sesuatu yang harus ada pada saat ini.
Bukan lagi berpikir secara kaku, sudah saatnya kita membuka jalan baru yang mempermudah akses bagi masyarakat untuk ikut membantu dalam upaya peningkatan mutu kualitas lingkungan hidup. Saya pikir patut kita contoh bagaimana perusahaan-perusahaan makanan yang memberikan pelayanan-pelayanan sebagai salah satu bentuk pelayanan kepuasan pelanggan, seperti KFC atau PHD (Pizza Hot Delivered).
Pertama, pemerintah perlu secara optimal mengaktifkan fungsi-fungsi dinas terkait dalam hal ini DLH (Dinas Lingkungan Hidup) sebagai outlet-outlet yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia yang tetap berada dalam satu komando dalam hal ini menteri lingkungan hidup.
Kedua, pemerintah perlu membuat call-center khusus atau media yang menangani pengaduan-pengaduan lingkungan. Jika KFC punya 14022 maka dinas lingkungan hidup punya facebook, e-mail, ataupun layanan telepon bebas pulsa yang akan diteruskan melalui jaringan komunikasi ke cabang yang terdekat dengan tempat tinggal pengadu. Saya pikir dengan hal ini masyarakat bisa lebih interaktif dalam memberikan suatu informasi entah itu berupa kemunculan gejala-gejala alam ataupun keluhan-keluhan yang timbul akibat suatu pelanggaran lingkungan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, penerapan paket siap antar. Maksud penerapan paket ini memang berbeda dengan perusahaan makanan yang mengirimkan makanan pesanannya, melainkan paket ini merupakan suatu tindak lanjut atas pengaduan masyarakat yang memang dianggap perlu secara cepat dan tepat ditanggapi dengan mengirimkan personil-personil yang berkompeten dalam bidangnya untuk melakukan kajian di lapangan, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan agar tidak meluas dan sebagai upaya untuk meminimalkan korban.
Keempat, adalah upaya pengawasan terhadap pelaksanaan sistem di berbagai dinas lingkungan hidup yang tersebar dengan menerapkan mobile monitoring untuk pemantauan layanan di daerah-daerah atau berupa konferensi online para pimpinan di tiap-tiap outlet (executive briefing), hal ini pun dapat membantu dalam menginformasikan suatu keadaan yang tengah terjadi di berbagai wilayah Indonesia, sehingga satu kebijakan yang objektif dapat diambil dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan hidup secara bersama-sama.
Upaya-upaya yang dikemukakan di atas semoga menjadi reformasi dari prosedural atau birokrasi yang berbelit-belit. Kita adalah bagian dari alam, alam membutuhkan kita dan seakan-akan ingin bicara, ”Akulah warisan nenek moyangmu dan akulah yang akan di wariskan untuk anak-cucumu ”.



0 komentar:

Posting Komentar