Oleh Anom Fajar Puji Asmoro
Bukan saatnya peraturan mempersulit suatu kebijakan, namun kebijakan
pula bukan saatnya dipermainkan. Tidak sedikit peraturan yang dibuat seolah
hanya untuk dilanggar, karena sistemnya yang begitu panjang dan membosankan.
Hingga rakyat seakan jenuh bermain-main dengan lingkaran setan peraturan yang
dibuat oleh pemerintah. “Kami ada untuk melayani” hanyalah salah satu slogan
yang sering saya baca, ketika saya berkunjung
ke instansi-instansi pemerintahan. Melayani siapa? Semua seakan tidak jelas,
hingga terkadang terjadi banyak sekali antrean panjang atau orang yang hilir
mudik hingga pusing karena disuruh ke sana ke sini. Bapak dinas sedang tidak
ada di tempat; ke undanganllah atau bajunya yang terkena tintalah karena
terlalu asik tanda tangan. Itulah beberapa peristiwa yang sering saya jumpai di
instansi pemerintahan.
Suatu Instansi dibuat tentu sebagai sarana yang harus mampu memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara terpadu, cepat, dan tepat. Memberikan konstribusi tanpa
harus menyulitkan masyarakat dengan alasan bahwa semua ini karena sistem.
Karena sesungguhnya suatu sistem dibuat untuk keteraturan karena kebijakan yang
dikeluarkan adalah sebagai tanggapan atau respons terhadap gejolak-gejolak
tuntutan yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat sebagai bagian ornamen dari sistem
kenegaraan, yang seharusnya menjadi penentu suatu kebijakan, karena
semata-semata semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan dijalankan oleh
setiap perangkat daerah mulai dari pemerintahan Provinsi, Kabupaten, Kota,
Kecamatan, Kelurahan hingga RW maupun RT ada untuk menyejahterakan rakyat.
Namun kini rakyat hanya menjadi suporter setia yang berteriak keras di belakang
kursi penonton. “Hutan kami gundul, sawah kami kering, panen kami menurun. Kami terperangkap karena jembatan hanyut terkena
banjir, ikan di tambak-tambak kami mati semua, rumah kami tenggelam karena
abrasi, rumah kami roboh karena erosi.”
Paradigma yang timbul dalam masyarakat memandang bahwa birokasi dan
sistem yang dibuat oleh pemerintah hanya membuat mereka pusing, ongkos yang
harus mereka keluarkan untuk pergi ke kantor pemerintahan lebih sering mereka
perhitungkan daripada besarnya kebutuhan yang mereka harapkan dari pemerintah.
Karena apa? Karena mereka pikir semua itu hanya akan sia-sia belaka. Contoh
kasus, di daerah Tunjung Teja kawasan Kabupaten Serang Banten, untuk mencapai
pusat pemerintahan mereka, penduduk setempat, harus naik ojek turun-naik bukit
untuk sampai di pinggir jalan pemberhentian angkutan umum atau bus kota, dan
masih memerlukan waktu beberapa jam lagi untuk sampai di pusat pemerintahan.
Hingga masyarakat lebih suka memilih diam di desanya masing-masing, menunggu
kesadaran dari pihak yang berwenang berkunjung ke desanya atau memberikan
bantuan.
Dalam alur laju kebijakan yang terjadi pada saat ini, saya pikir ada
dua sistem yang menggejala dalam tubuh instansi pemerintahan. Pertama adalah
sistem ”bersih”, yaitu suatu tanggapan yang diusulkan masuk melalui biro umum,
diolah lalu ditanggapi oleh pimpinan untuk kemudian disetujui ataukah tidak. Kedua adalah sistem
”kedekatakan (cukup telepon saja)”, yakni katakan kemauan anda lalu kami
sediakan. Sungguh ironis ini semua terjadi di bangsa yang banyak sekali
melahirkan pakar-pakar hukum yang terkenal.
Saya kira, inilah salah satu yang menyebabkan
banyak terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan, mulai dari yang sifatnya
ringan hingga berat. Sebagai contoh, banyak sekali berjamur
peternakan-peternakan yang dibuat di perkampungan tanpa memperhatikan keadaan
lingkungan sekitar dan tidak memenuhi persyaratan yang layak sebagai suatu
peternakan, dan pengerukan pasir secara besar-besaran hingga menimbulkan efek
yang begitu besar pada keadaan sosial di masyarakat karena kebijakan yang
diambil masih belum objektif, masih terdapat kepentingan-kepentingan pribadi.
Padahal pada saat ini banyak sekali
organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan, terutama
organisasi kemahasiswaan seperti Mapala (Mahasiswa Penjelajah Alam), Mahasiswa
Pencinta Tanaman, Relawan Desa, Tagana, hingga organisasi tataran nasional
seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Green Peace, dan lain-lain. Mereka
semua cukup konsen dalam keikutsertaan menjaga lingkungan melalui program-program
yang dibuatnya. Namun sebagai bagian dari pendukung penyelenggaraan kebijakan
pemerintah, organisasi-organisasi ini masih terkekang dalam aturan-aturan. Saya
pikir, Mapala, Relawan Desa, Walhi, sebagai bagian dari masyarakat yang wajib
ikut serta dalam beberapa kegiatan cinta lingkungan, menganggap respons yang
diberikan oleh pihak-pihak instansi pemerintah yang semestinya konsen dalam
bidang lingkungan masih sangat kurang optimal. Terbukti sering terjadi
ketidaksingkronan dalam suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan
organisasi-organisasi kemahasiswaan atau masyarakat, sehingga yang timbul
adalah ego masing-masing. Otoritas yang dimiliki oleh instansi pemerintah kini
menjadi suatu otoriterian terhadap upaya-upaya yang dicanangkan untuk memperbaiki
keadaan lingkungan, padahal lingkungan adalah permasalahan bersama yang perlu
kita kaji dan kita ambil winning solutionnya
secara bersama pula.
Kasus yang terjadi saat ini berupa eksternalisasi
dari suatu kebijakan, memberikan suatu kewenangan kebijakan terhadap para
investor-investor yang ingin mendirikan suatu badan usaha yang tidak
mempedulikan dampak negatif bagi lingkungan. Semua itu membuktikan bahwa segala
sesuatu dapat dipermainkan dan diperjualbelikan. Contoh lain yang terjadi
diawal tahun 2010 adalah proyek pembangunan yang dilakukan suatu perusahaan air
mineral untuk mendirikan perusahaan yang mengambil mata air di daerah
Padarincang, Kabupaten Serang. Dampak langsungnya menimbulkan penolakan besar
dari masyarakat setempat, elemen-elemen terkait, dan juga organisasi-organisasi
pencinta alam termasuk Walhi Banten, dan dampak untuk jangka panjangnya
eksploitasi air dengan kapasitas yang cukup besar tersebut tentu mengkibatkan
masyarakat kesulitan untuk mendapatkan air bersih sehingga komersialisasi air
dapat terjadi. Sekali lagi hal itu membuktikan permainan birokrasi dan
oknum-oknum yang kurang memperhatikan aspek-aspek sosial maupun kelestarian
lingkungan, karena alangkah baiknya dalam menetapkan suatu kebijakan terutama
yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan
perlu diadakan kajian dan pengujian terlebih dahulu. Mudah bagi mereka yang
bayak uang tapi sulit bagi mereka yang hanya bisa berteriak dengan suara
lantang ”masyarakat”. Seperti bermain ular tangga, jalan terus bagi yang punya
mata dadu enam, tapi harus naik turun bagi yang hanya punya mata dadu satu.
”Kenapa harus dipermudah kalau bisa dipersulit”, menjadi guyonan yang terjadi
di masyarakat karena terlalu lelah bermain birokrasi di pemerintahan.
Satu konsep baru saya pikir perlu digalakan
sebagai bagian reformasi birokrasi yang menjenuhkan, karena alam bukan untuk
dipermainkan atau diperjualbelikan seenaknya. Di tengah keadaan kerusakan
lingkungan yang cukup kritis, kemudahan birokrasi, akses mengemukakan pendapat,
objektivitas dari suatu kebijakan, pelayanan yang menyenangkan kepada
masyarakat, pengaduan yang direspons secara cepat dan tepat, upaya pemerintah
yang berkelanjutan menjadi sesuatu yang harus ada pada saat ini.
Bukan lagi berpikir secara kaku, sudah saatnya
kita membuka jalan baru yang mempermudah akses bagi masyarakat untuk ikut
membantu dalam upaya peningkatan mutu kualitas lingkungan hidup. Saya pikir
patut kita contoh bagaimana perusahaan-perusahaan makanan yang memberikan
pelayanan-pelayanan sebagai salah satu bentuk pelayanan kepuasan pelanggan,
seperti KFC atau PHD (Pizza Hot Delivered).
Pertama, pemerintah perlu secara optimal
mengaktifkan fungsi-fungsi dinas terkait dalam hal ini DLH (Dinas Lingkungan
Hidup) sebagai outlet-outlet yang
tersebar di seluruh pelosok Indonesia yang tetap berada dalam satu komando
dalam hal ini menteri lingkungan hidup.
Kedua, pemerintah perlu membuat call-center khusus atau media yang
menangani pengaduan-pengaduan lingkungan. Jika KFC punya 14022 maka dinas
lingkungan hidup punya facebook, e-mail, ataupun layanan telepon bebas
pulsa yang akan diteruskan melalui jaringan komunikasi ke cabang yang terdekat
dengan tempat tinggal pengadu. Saya pikir dengan hal ini masyarakat bisa lebih
interaktif dalam memberikan suatu informasi entah itu berupa kemunculan
gejala-gejala alam ataupun keluhan-keluhan yang timbul akibat suatu pelanggaran
lingkungan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, penerapan paket siap antar. Maksud
penerapan paket ini memang berbeda dengan perusahaan makanan yang mengirimkan
makanan pesanannya, melainkan paket ini merupakan suatu tindak lanjut atas
pengaduan masyarakat yang memang dianggap perlu secara cepat dan tepat
ditanggapi dengan mengirimkan personil-personil yang berkompeten dalam
bidangnya untuk melakukan kajian di lapangan, sehingga dapat dilakukan
upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan agar tidak meluas dan sebagai upaya
untuk meminimalkan korban.
Keempat, adalah upaya pengawasan terhadap
pelaksanaan sistem di berbagai dinas lingkungan hidup yang tersebar dengan
menerapkan mobile monitoring untuk
pemantauan layanan di daerah-daerah atau berupa konferensi online para pimpinan di tiap-tiap outlet (executive briefing),
hal ini pun dapat membantu dalam menginformasikan suatu keadaan yang tengah
terjadi di berbagai wilayah Indonesia, sehingga satu kebijakan yang objektif
dapat diambil dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan hidup secara
bersama-sama.
Upaya-upaya yang dikemukakan di atas semoga
menjadi reformasi dari prosedural atau birokrasi yang berbelit-belit. Kita
adalah bagian dari alam, alam membutuhkan kita dan seakan-akan ingin bicara,
”Akulah warisan nenek moyangmu dan akulah yang akan di wariskan untuk
anak-cucumu ”.
0 komentar:
Posting Komentar