Saat menuliskan
pengalaman ini, maka saat itu pula aku harus kembali membuka nostalgia lama di
pertengahan awal tahun 2009. Aku masih teringat pada sebuah sms di handphoneku
dari seorang dosen pada saat itu. ”Nom, bagaimana persiapan acara pendidikan
lingkungan ?”. Memang hampir dua bulan lebih, setelah awal perkuliahan pada
semester kedua dimulai. Aku dan beberapa kawan, disibukan dengan persiapan
kegiatan kuliah lapangan pendidikan lingkungan, yang rencananya akan
diselenggarakan di bulan Mei 2009.
Semua ini
berawal ketika aku yang menjadi bagian dari 103 mahasiswa program studi
pendidikan matematika Untirta angkatan 2008, harus mengambil kontrak mata
kuliah pendidikan lingkungan di semester kedua. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya,
jika mata kuliah ini mengantarkanku pada sebuah perenungan. Benar rupanya,
bahwa “Lingkungan menjadi tanggung jawab
bersama”. Tanpa perlu membeda-bedakan status, agama, golongan, hingga latar
belakang pendidikan, ataupun selalu beranggapan sudah ada pihak-pihak yang
bertanggung jawab atas lingkungan, hingga akhirnya terbentuk pola pikir, bahwa
lingkungan bukan lagi menjadi urusan kita semua.
Rupanya ada hal
unik yang aku rasakan pada saat menjalani mata kuliah ini. Dua per-tiga dari
masa perkuliahan, mengharuskan aku dan kawan-kawan menjalaninya secara mandiri,
melalui seminar kecil di dalam kelas. Kami diharuskan mempersentasikan sebuah
laporan berbentuk makalah yang berisi isu tentang lingkungan, di mana setiap
makalah dibuat oleh satu kelompok studi yang maksimal terdiri dari 10 orang,
serta mewajibkan setiap kelompok membawa seorang narasumber yang berkompeten di
bidang lingkungan sesuai dengan isi makalahnya. Rutinitas ini menjadi hal yang
menarik bagiku, tidak lagi sebagai perkuliahan yang hanya terpenjara di dalam
ruangan berbentuk kubus, namun ternyata perkuliahan ini membawaku pada
kenikmatan karena dapat lebih mendekatkan diri dengan lingkungan, meskipun dari
sebuah bangku kuliah di dalam kelas.
Setiap seminggu
sekali aku bertemu orang-orang hebat, sedikitnya mulai dari staf ahli DLH Kota
Serang, staf ahli DLH Kota Cilegon, guru-guru SMA 4 Pandeglang yang sekolahnya
terkenal dengan sebutan sekolah “adiwiyata”, pihak pengolahan TPS “Tempat
Pembuangan Sampah” Kabupaten Serang, instansi pengolahan air bersih, pihak
pengolahan limbah rumah sakit, pihak pengolahan usaha pupuk kompos, perintis
pembuatan bahan bakar gas kotoran hewan di Kota Serang, dan salah seorang
peraih penghargaan kalpataru, sebagai seorang yang berjasa dalam pencegahan
abrasi pantai di wilayah serang, turut menjadi narasumber yang bersedia membagi
ilmunya dalam bidang konservasi dan pendidikan lingkungan padaku.
Banyak pesan
yang diperoleh dari proses perkuliahan yang telah aku jalani saat itu, tentunya
dengan mengundang berbagai narasumber yang terjun langsung dengan lingkungan
menambah perhatianku, bahwa bidang apapun yang kita geluti, pada akhirnya harus
berguna untuk masyarakat dan lingkungan sekitar kita. “Alam tidak seperti sekumpulan orang yang bisa diubah lewat motivasi
atau kata-kata menggugah, karena alam tidak hanya membutuhkan kata-kata, tetapi
alam lebih membutuhkan bukti nyata kepedulian kita”.
***
Aku tidak terlalu
ingat kapan tepatnya, siang itu aku berkumpul di pelataran bangunan gedung
Rektorat Untirta bersama 21 orang kawanku. Aku menyebut mereka “para pelestari”, begitulah kiranya, sebab
merekalah orang-orang yang secara sukarela menawarkan dirinya untuk bergabung
dalam kepanitian persiapan kuliah lapangan pendidikan lingkungan pada saat
itu. Hari itu menjadi pertemuan kami
yang pertama. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari penentuan ide
kegiatan, struktur kepanitian, hingga pada tataran teknik persiapan, semua
harus dilakukan secara mandiri. Namun, belum sempat kami menuangkan ide, kami
harus dihadapkan pada tekanan kebiasaan lama, terkait dengan pelaksanaan
kegiatan kuliah lapangan pendidikan lingkungan dan juga pandangan dosen
terhadap kegiatan yang memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun itu, yakni
adanya pandangan, bahwa kegiatan tersebut hanya memungkinkan sebagai kegiatan
kunjungan, dengan alasan melihat kondisi mahasiswa yang berjumlah 103 orang dan
hampir 90 persennya adalah perempuan, maka kegiatan ini dicukupkan sebagai
kunjungan kepada suatu intansi yang turut serta konsen melakukan pemberdayaan
lingkungan.
Sungguh semua
itu menimbulkan keresahan dan rasa penyesalan dalam benakku pada saat itu, jika kegiatan ini hanya berupa kunjungan
kepada sebuah instansi yang ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Lalu di mana bukti kepedulian nyata aku dan kawan-kawan? Dan apa bedanya dengan
mengundang narasumber ke dalam kelas? Jika hanya harus melihat, mendengarkan
orang bercerita tentang pengalaman dan usaha konservasi lingkungannya, tanpa
langsung menjadi bagian dari pelestarian lingkungan itu sendiri. Aku kira hal
kecil ini lah yang selalu orang abaikan, banyak orang yang menyadari bahwa
menjaga lingkungan itu sangat penting, tetapi hanya sedikit orang yang menyadari,
bahwa kesadarannya yang begitu besar itu tidak akan berarti apa-apa, tanpa
adanya tindakan yang mengirinya.
Berakhir pada
sebuah ketidakpastian kegiatan, pertemuan tersebut masih hanya menghasilkan
sebatas wacana ide dan hanya seputar struktur kepanitiaan. Sampai pada akhirnya
aku bersama tim kepanitian berkumpul dan bertemu dosen terkait, Ibu Lussiani
Dewi Assaat, S.pd. Menceritakan hasil pertemuan pertama kami, dan mencoba
mengusung ide kegiatan yang tidak sekadar kunjungan, serta mencoba keluar dari
kebiasaan lama. Nampaknya ibu lussi —begitulah beliau kami sapa— cukup tertarik,
hingga tak terasa beberapa jam sudah kami lewati dengan memperbincangkan
permasalahan kegiatan yang mungkin digulirkan.
Berawal dari
sebuah ide kawan kami —Fikri Hasan— yang pada saat itu pun bergabung dalam
Mahasiswa Pencinta Alam. Menawarkan ide untuk menindak lanjuti hasil-hasil
seminar kecil yang telah kami lalui. “Ada sebuah fakta yang harus Banten
hadapi, memang banyak sekali permasalahan yang belum terselesaikan, kunci
utamanya karena kesadaran masyarakat yang masih bisa dibilang sangat rendah dalam
bidang lingkungan. Akan tetapi, jika merujuk pada kondisi wilayah provinsi
Banten yang satu per-tiganya dikelilingi oleh perairan, dan hanya wilayah timur
saja yang berbatasan dengan daratan. Kenyataan pahitnya adalah permasalahan
pengikisan bibir pantai akibat abrasi yang telah terjadi cukup lama di Banten.
Dan sedikitnya beberapa wilayah yang mengalami hal itu adalah pantai Lontar
Kecamatan Tirtayasa, Pulau Dua atau Pulau Burung, hingga pantai Karangantu
Kasemen. Walaupun faktor alam menjadi penyebab abrasi, namun ternyata tidak dimungkiri,
bahwa ada campur tangan manusia yang turut pula menjadi penyebabnya, dengan
maraknya pengerukan pasir pantai”. Hal itu pun dibenarkan olehku, kami sempat
mengundang Bapak Madsahi, seorang pelestari lingkungan yang secara konsisten
dari sekitar tahun 90-an, melakukan perbaikan sedikit demi sedikit pada daratan
yang telah hilang akibat abrasi, melalui penanaman pohon mangrove satu demi
satu. Beliau pun sempat menuturkan “Masyarakat serang masih kurang peduli
terhadap masalah abrasi ini, mereka lebih memilih mendirikan tambak-tambak dan
melakukan pengerukan pasir, sekalinya mereka melihat pohon mangrove, mereka
memotongnya untuk kayu bakar. Bahkan pernah menodongkan pistol padaku karena
ulahku yang secara rutin menanam pohon mangrove di sekitar Pulau Dua, coba saja
jika masalah ini dibiarkan, lambat laun Banten akan hilang dari peta”. Maka
setelah melakukan diskusi yang cukup panjang dan mendengarkan pemaparan
kawan-kawan, tercetuslah ide penanaman mangrove di pesisir pantai Banten.
Lewat semua itu,
kami semakin mantap menyiapkan acara konservasi lingkungan ini. Pembagian tim kembali
diubah, sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, yang
paling utama adalah tim survey lahan lokasi penanaman yang paling tepat dan
memang membutuhkan. Saudara Agus Sihabudin lah yang mengkoordinirnya pada saat
itu, dipilihnya lah pantai Lontar sebagai lokasi yang benar-benar kritis.
Sebuah desa yang terasingkan jika laut sedang pasang, karena akses jalan menuju
ke sana terendam air laut. Hampir 6 sampai 7 meter bibir pantai terkikis setiap
tahunnya, sekiranya begitulah penuturan masyarakat setempat. Kata mereka,
dahulu wilayah pantai Lontar tidak seperti sekarang ini —yang sejauh mata
memandang hanya perairan berlumpur sisa peradaban dan pemukiman masyarakat
cina. Pada saat melakukan observasi lahan
penanaman, ternyata di sana sedang dilakukan pemasangan batu penyangga arus
gelombang air laut. Hal itu semakin memperkuat tekad kami untuk menjadikan
pantai lontar sebagai tempat penanaman mangrove, karena proses pertumbuhan mangrove
tidak akan terlalu terganggu hanya karena adanya gelombang pasang.
Sore itu kami coba
temui beberapa aparatur desa, yang boleh dibilang “mengusai” daerah tersebut
untuk mengurus perijinan. Namun, tidak satupun dari mereka yang berhasil kami
temui. Selang beberapa hari ternyata Agus melakukan proses perijinan sendiri,
walaupun memang telah melakukan kordinasi sebelumnya denganku yang pada saat
itu menjabat sebagai penanggung jawab seluruh kegiatan.
***
Sebuah sms dari
Agus Sihabudin masuk ke inbox hp ku , akan tetapi tertulis nama Agus Pontang
disitu, sebab sapaan akrab itu yang sering digunakan untuk memanggilnya.
memintaku untuk segera menemuinya di halaman pusat kegiatan mahasiswa pada saat
itu juga. Dari ketikan smsnya menyiratkan ada perihal kabar buruk yang akan
disampaikan. Tanpa basa-basi, aku kumpulan segenap panitia untuk melakukan rapat
darurat, menemui Agus Pontang yang sudah sedari tadi menunggu di tempat yang telah kami sepakati.
“Nom, kayaknya kita
harus cari tempat lain”.
“Kenapa?” Selidikku.
“Kemarin gue ke sana,
gue udah ketemu sama salah seorang aparatur daerah setempat, gue ngomong banyak
disitu perihal niatan kita, dan lo tahu nggak apa jawabannya, awalnya beliau
merespon baik niat kita, namun ternyata tempat yang akan coba kita tanam, lebih
dipilih untuk dibangun tempat pelelangan ikan, ketimbang harus ditanami pohon mangrove.”
Agus menjelaskan.
“Ini yang
sebenarnya gue khawatirkan, mereka kurang sadar kalau terus menerus dibiarkan seperti
itu, habis tuh pantai. Kalau memang sekarang udah dikasih batu-batu penyangga
gelombang, gue yakin semua itu nggak akan bertahan lama, lo lihat kan di sana
para nelayan susah nyari ikan. Setidaknya kalau di sana ditanami pohon mangrove,
ikan-ikan juga nggak akan hilang seperti saat ini”. Sanggah fikri yang pada
saat itu terlihat emosi karena memang harapannya melakukan penanaman mangrove
begitu tertuju pada pantai lontar.
Ternyata sebuah
niat baik tidak pernah selalu bisa berujung baik, tanpa bermaksud berpikir
negatif, kami hanya berharap semoga suatu saat nanti masyarakat pesisir pantai
Lontar sadar akan pentingnya menanam pohon mangrove ini, tanpa hanya
mementingkan sisi komersialisasi pemanfaatan sumber daya perairan saja yang
secara bebas di eksploitasi secara berlebihan.
Mengingat bom
waktu yang seolah-olah semakin berdetak cepat, satu minggu lagi pelaksanaan
penanaman mangrove akan dilaksanakan. Tetapi kami harus dihadapkan pada
permasalahan birokrasi perijinan yang nyatanya memang tidak mengijinkan.
Ditambah permasalahan bibit mangrove yang belum juga kami dapatkan, karena
menurut penuturan tim humas yang mencoba melakukan kordinasi dengan pihak dinas
terkait, hasilnya nihil pada saat itu. Sehingga peluang yang muncul, hanya jika
kami membelinya dari tempat penyemaian mangrove yang dilakukan masyarakat. Dan
harganya pun tidak murah, sedangkan kami memulai kegiatan ini hanya dengan dana
nol rupiah, artinya kami tidak mempunyai dana sepeserpun untuk memesan bibit.
Jelas nampak
kerutan di dahi kawan-kawan, mencoba memutar otak atas permasalahan yang kami
hadapi. Tidak mungkin jika harus membanting stir, merubah haluan arah perjalanan
ini. Dan aku coba yakinkan bahwa ini adalah sebuah perjuangan kami untuk alam.
Dengan segenap keyakinan, aku mencoba mengambil komando, meminta beberapa orang
untuk ikut denganku melakukan perjalanan investigasi di sepanjang pesisir
pantai, mencari lahan-lahan kritis lainnya. Dan meminta teman-teman untuk tetap
tenang serta melanjutkan target-target persiapan yang masih tertunda.
Langit
menunjukan waktu senja akan datang, perjalanan dimulai dari sepanjang Pantai Domas,
menyusuri bibir pantai dan berlabuh di Pulau Dua. Dengan harapan bertemu bapak
madsahi untuk coba dimintai pendapatnya atas permasalahan ini. “Menanam mangrove
ternyata memiliki permasalahan yang cukup kompleks, hama yang mengganggu
pertumbuhan mangrove pun cukup banyak. Kemungkinan tumbuh pun sedikit, dari 100
bibit yang ditanam belum tentu 50 % nya akan tumbuh, dan pemilihan bibit pun
harus benar-benar diperhatikan, karena tidak semua bibit yang telah mengalami
penyemaian cocok dengan area tanam. Permasalahan itulah yang sering tidak
diperhatikan bagi mereka yang sudah mencoba menanam bibit mangrove, jadi tidak
satupun bibit mangrove tumbuh”. Masih teringat cukup jelas pemaparan Bapak Madsahi
pada saat itu. Sehingga beliau pun menyarankan kepada kami untuk melakukan
penanaman di pantai Karangantu saja, dengan banyak pertimbangan tentunya.
Sudah lelah
badan ini. Namun, perjalanan tetap dilanjutkan. Dari Pulau Dua kami menyusuri
jalan menuju pantai Karangantu, dan seingatku tidak terlalu lama kami disana.
Setelah melihat lahan yang mungkin ditanami. Hambatan baru kembali muncul,
terbayang sudah alur birokrasi baru yang perlu kami lalui hanya untuk mengurus
perizinan.
Senja telah
tiba, sepeda motor yang kami tunggangi sudah penuh dengan lumpur —yang menjadi
oleh-oleh sisa perjalanan. Berbekal semua informasi yang kami dapatkan, satu
per satu permasalahan coba kami pecahkan. Dan puji syukur atas keagungan Allah
SWT, sebuah angin segar menghampiri kami. Kami mendapat bantuan untuk masalah
perijinan dari pihak DLH Lebah Banten yang juga mendukung acara penanaman
mangrove ini.
Hanya tinggal
menghitung hari, sesuai jadwal pelaksanaan penanaman mangrove yang pada saat itu
bertepatan pada tanggal 20 Mei 2009. Permasalahan lain adalah bibit-bibit
mangrove belum juga didapatkan. Jika harus memaksakan untuk membeli, itu menjadi
hal yang sangat berat buat kami. Maka satu-satunya cara adalah memetiknya
langsung dari pohonnya.
Tim pun dibagi
kembali dalam beberapa kelompok, untuk menyiapkan persiapan pemetikan
bibit-bibit mangrove. Masih ingat jelas di memoriku, kami merencanakan fase
pemetikan bibit dalam dua tahap, yakni tahap pertama pada hari sabtu dengan
agenda kegiatan fokus melakukan pemetikan, dan tahap kedua pada hari minggu
dengan agenda melengkapi jumlah kekurangan bibit serta menyiapkan area lahan
penanaman, yang disesuaikan dengan teknik tanam yang digunakan.
Nampaknya,
hambatan-hambatan begitu akrab dengan kami. Belum sempat kami melakukan
pemetikan di hari pertama, kami sudah dihadapkan pada keputusan sepihak dosen
untuk menunda acara penanaman. Dengan alasan utama anak beliau sakit, sehingga
tidak memungkinkan acara ini dilanjutkan tanpa pengawasan beliau. Sepontan
keputusan ini membuatku shock. Dengan
semua persiapan yang sudah kami lakukan, termasuk bekerja sama dengan banyak
pihak, sehingga tidak memungkin jika kegiatan ini dipending, sampai batas waktu
yang tidak bisa ditetapkan pula, atau sampai anak beliau sehat kembali.
Perdebatan pun
tidak bisa terelakan, baik antara kami dengan dosen terkait ataupun dalam tubuh
kepanitian itu sendiri, tentu menjadi hal yang sulit ketika keputusan sudah
terucap dari seorang dosen, karena pada dasarnya kegiatan ini pun terselenggara
atas seijin beliau.
Sebagai
penanggung jawab kegiatan, lagi-lagi sebuah keputusan yang berat harus kubuat.
Apakah harus aku turuti kemauan dosen? Ataukah aku harus tetap menjalankan
rencanaku semula, melakukan pemetikan bibit mangrove dan menjalankan kegiatan
sesuai rencana?. Hal ini menjadi dilema tersendiri buatku. Ditambah tidak ada
pula kebutusan bulat yang diperoleh dari diskusi panitia yang terasa begitu
menegangkan pada saat itu, sehingga semua keputusan pun harus aku yang
menentukan. Hingga pada akhirnya dengan
segenap keberanian dan keyakinan, aku putuskan pada hari itu kami tetap
melakukan pemetikan bibit. Tanpa bermaksud tidak mengindahkan keputusan dosen
tentunya. Dan aku dengan salah seorang kawanku pun menemui beliau yang sudah
sedari tadi menunggu kami di rumah sakit untuk membicarakan perihal kegiatan
ini, sedangkan sisanya berangkat ke Karangantu untuk melakukan pemetikan bibit.
Siang hari
begitu terik pada saat itu. Setelah kutemui dosen dengan sigap ku susul kawan-kawan
yang sudah melakukan pemetikan lebih dahulu. Nampak akar-akar pohon mangrove
menjulang tinggi dengan ranting yang tidak begitu kokoh, jarak tanaman yang
begitu rapat kerap menjadi sarang-sarang nyamuk liar, lumpur yang selalu menyimpan jebakannya terus
menghantui setiap langkah, hingga banyaknya parit-parit kecil harus kami
lompati demi menggapai satu sekumpulan bibit ke sekumpulan bibit lainnya. Sebelumnya
memang kami sudah mendapat pengarahan tentang bibit yang sudah pantas untuk
dipetik —berbentuk besar dan panjang seperti kacang panjang, serta memiliki
bintik-bintik hitam disekitarnya— sehingga ketika ditanam nanti kemungkinan
tumbuh pun cukup besar. Ada pula kejadian yang membuat kami cukup kebingungan
pada saat itu. Salah seorang kawan kami, Rofiroh namanya sempat terperosok ke dalam
parit hingga menginjak sebuah akar pohon mangrove yang licin dan memang tajam,tak
ayal membuat telapak kakinya pun sempat sobek dan mengeluarkan banyak darah.
Kejadian itu pula yang menghentikan perburuan bibit kami di hari pertama.
***
Pagi itu kami
sudah mengatur janji untuk berkumpul di kampus, melanjutkan perburuan kami di
hari yang kedua dan berniat menyiapkan area-area tanam bagi bibit yang sudah
kami petik. Dua karung kami peroleh di hari itu, dan jika diakumulasikan dengan
hasil pemetikan di hari pertama mencapai lebih dari empat karung. Hari semakin
siang, jarum jam tangan pun menunjukan pukul 14.00 WIB. Ketika jumlah bibit
dirasa cukup, saatnya bagi kami memasang patok-patok bambu yang terhubung
dengan tali rafia, membentuk bangun datar persegi panjang yang disusun rapat
antara satu dengan yang lainnya, bak areal kawat merayap untuk para AKABRI.
Panjang tali rafia dan jarak patokan diukur sedemikian hingga, disesuaikan
dengan ketentuan jarak penanaman bibit, yakni satu meter antara bibit yang satu
dengan bibit yang lain. Nampaknya kejadian di hari pertama tidak membuat kami
jera untuk lebih berhati-hati, buktinya kini giliran kakiku menginjak ujung
batu karang, meskipun tidak mengeluarkan darah, namun efeknya dirasa begitu parah,
dari kejadian itu satu minggu lebih kakiku bengkak, hingga harus dibopong jika
ingin berjalan.
Pemasangan patok
berlangsung cukup lama hingga hari mulai senja. Sedikit demi sedikit kubangan
lumpur di gali untuk membentuk aliran air, tiga area yang diperlakukan seperti
itu. Pemasangan patok pun disesuaikan, ada yang menggunakan teknik lurus dan
ada pula yang menggunakan teknik zig zag. Perbedaannya terletak pada
hambatan-hambatan yang akan dihadapi bibit mangrove, jika penanaman yang
menggunakan teknik zig zag adalah penanaman yang langsung berhadapan dengan
arus air laut, sebaliknya penanaman yang menggunakan teknik lurus adalah
penanaman yang dilakukan pada area yang tidak langsung berhadapan dengan arus
air laut.
Mandi lumpur
menjadi sauna hangat di tengah dinginnya hebusan angin senja pantai, tubuh ini
serasa begitu lekat dengan aroma asin air laut. Lalu seusai membendung lumpur
tadi, bibit mangrove disimpan di tempat yang agak berair agar tidak kering
tersengat terik matahari. Pemetikan bibit mangrove dihari kedua pun berakhir
dengan ditandai terbenamnya mentari di ufuk barat.
Tibalah hari
yang dinanti, 19 Mei 2009. 103 mahasiswa matematika angkatan 2008 Untirta
berkumpul di depan gedung rektorat pagi itu, tiga buah bus—hasil pinjaman—terparkir
di samping jalan masuk. Berduyun duyun kami meluncur ke tempat tujuan,
sesampainya disana kami pun disambut hangat oleh pihak pengelola pelabuhan,
tempat kami transit sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat penanaman yang
hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. 103 mahasiswa pun dibagi dalam tiga
kelompok area penanaman, kami sebut dengan area 1, area 2, dan area 3. Pada saat
penanaman mangrove berlangsung, pada awalnya ada keraguan yang timbul dan rasa
kekhawatiran panitia, terkait peserta yang di dominasi oleh para kaum hawa.
Namun semua kekhawatiran itu akhirnya sirna dan menimbulkan rasa haru dan
bangga, khususnya bagiku yang pada saat itu menjadi penanggung jawab seluruh
kegiatan. Ketika mendengar pengakuan salah seorang peserta yang sempat
mengatakan “ wah, gue tidak menyangka kegiatan ini ternyata seru juga ya.
Apalagi tadi waktu gue harus terendam lumpur hampir sedada sampai-sampai kaki
gue sempat keram di dalam lumpur, tapi sumpah seru banget.”
***
Buatku
pengabdian ini belum apa-apa, jika membandingkan semua hal yang telah alam
berikan untukku, angin yang begitu sejuk, deburan ombak yang membusa di bibir
pantai, akar-akar mangrove yang menjadi habitat ikan-ikan kecil, batang
mangrove yang mampu mengobati beberapa jenis penyakit bagai seorang tabib, laut
yang selalu menyediakan kehidupan bagi nelayan, dan bibit mangrove yang
memberikan sebuah pelajaran. Mengajarkan arti kehidupan,“bertahan hidup dari banyaknya hama, tumbuh besar menjadi pohon mangrove
yang sebenarnya, hingga berbuah dan menjatuhkan kembali bibit-bibitnya ke tanah
berlumpur, untuk kembali meneruskan perjuangan menahan terpaan gelombang air
laut, demi mencegah abrasi pantai.”
Sebuah
persembahan “SERIBU MANGROVE UNTUK BANTEN”.
Catatan:
Cerita ini aku
persembahkan untuk dosenku tercinta, Ibu lussiani Dewi Assaat, S.pd, 21 orang
“para pelestari” yang tergabung dalam kepanitian pendidikan lingkungan,
mahasiswa matematika angkatan 2008 Untirta, pihak-pihak yang pernah mendukung
terselenggaranya kegiatan ini, Tria Achiria yang terus menanti kekasihnya yang juga
merupakan salah seorang “para pelestari”. Dan teman-teman yang telah membantu
membuka kembali memori lama terkait kegiatan ini, serta teman-teman lainnya
yang tidak sempat pula aku sebutkan namanya.
0 komentar:
Posting Komentar