30 April 2011/rumah
tercinta
Oleh: Anom Fajar
Puji Asmoro
Belakangan ini rasanya
sulit sekali buatku menulis, entah mengapa? Beberapa kalimat yang coba
kubangun, selalu harus berhenti di paragraf pertama dan tak pernah bisa
kulanjutkan lagi. Mungkin beginilah nasib sang penulis amatir sepertiku yang
sedang mencoba belajar menulis tetapi jauh dari latar belakang dunia
kepenulisan sebelumnya. Dan rasanya masih selalu terjebak dalam alur pemikiran
yang kubaca dari tulisan-tulisan orang lain, hingga belum bisa seutuhnya
menjadi diri sendiri. Dimana setiap gagasan yang coba dibangun pun tak begitu
kokoh. Ah tapi tak apalah. Barangkali pijakan tangga pertama ini yang mesti
kulewati jika aku ingin bisa menapaki tangga selanjutnya—belajar dari tulisan orang
lain—sebagai seorang penulis seutuhnya.
suatu waktu pun sempat aku membaca sebuah buku yang berisi
tentang kisah-kisah inspiratif, diceritakan disana ada seorang anak yang
melihat seekor ulat yang telah berubah menjadi kepompong dan tak lama lagi ulat
itu akan berubah menjadi kupu-kupu—mungkin dalam beberapa menit. Melihatnya
yang begitu sulit keluar dari cangkang kepompongnya, tiba-tiba sang anak pun
merasa iba. Akhirnya dia berinisiatif untuk merobek sedikit demi sedikit cangkang
kepompong tersebut dengan maksud membantu sang kupu-kupu muda keluar dari
kepompong. Namun, ketika melihatnya telah keluar. Didapatinya kupu-kupu yang
bersayap pendek dan berbadan gemuk. Berbeda jika dibandingkan kupu-kupu pada
umumnya yang bersayap lebar, indah dengan badan yang tidak terlalu besar. Seketika
setelah itu, lagi-lagi sang anak membantunya. Kali ini dia mengangkat kupu-kupu
muda tersebut dan menerbangkannya. Akan tetapi sayap-sayap pendeknya hanya bisa
membantunya untuk berjalan merayap di tangkai bunga.
Meskipun kisah tersebut bukanlah kisah baru. setidaknya dapat
menjadi sebuah perenungan khususnya buatku. Sulitnya sang kupu-kupu muda keluar
dari kepompong, pada dasarnya adalah sebuah proses yang harus dia lewati. Ketika
cairan yang pada awalnya menggumpal di dalam tubuh kupu-kupu tersebut, dan pada
saat tubuh bergesekan dengan cangkang kepompong maka cairan tersebut akan mengalir
ke setiap sayap-sayapnya yang bisa membuat sayap tersebut lebar dan mengembang.
Inilah yang diajarkan Allah pada kita, memahami sebuah proses. Bayangkan saja,
jika seseorang terlahir kedunia ini tanpa terlebih dahulu menjadi seorang bayi,
anak-anak, remaja hingga pada akhirnya dewasa. Tentu aneh rasanya. Dan mungkin
saja yang akan kita temui seorang bapak-bapak ataupun ibu-ibu masih bermain
dikubangan lumpur dan menangis ketika permen yang tengah diemutnya jatuh
ketanah.
Di jaman yang banyak menawarkan paket cepat seperti saat ini,
banyak orang yang begitu cepat memperoleh popularitas namun cepat pula ia
dilupakan, ataupun banyak orang yang begitu cepat memperoleh kedudukan dalam
sebuah intitusi dan organisasi namun tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Proses
dalam mencapai suatu kematangan lah mungkin sulit kita sadari, memahami hasil
akhir sebagai satu-satunya tujuan nampaknya masih menjadi seperti sebuah barang
yang laku dipasaran. Dan mencari jalan yang paling cepat mendapatkan sesuatu
yang diinginkan masih pula menjadi pilihan yang banyak dipilih orang, tanpa memaknai
sebuah rentang waktu perjalanan hidup yang tidak Allah berikan secara instan
sebagai proses pendewasaan.
***
Pernah pula disuatu
malam kawanku bercerita tentang masalah yang tengah dia hadapi. Posisinya di
organisasi yang ia jalani saat ini menuntutnya tahu banyak hal sekaligus
memberikan kebijakan-kebijakan terkait hal apapun yang akan dilakukan.
“Nom, gue capek”
“Capek kenapa?”
selidikku
“Gue bingung, gue
mesti gimana. Sebagai pemimpin gue ngerasa banyak teman-teman anggota yang
kecewa sama gaya kepemimpinan gue.”
“Ko lu bisa nyimpulin
begitu?”
“Ada lah pokoknya yang
cerita ke gue. Dan gue bingung ngajak temen-temen supaya mau ngerti posisi gue.
Belum gue harus mikir masalah dana, dan hal-hal yang lain, dan sekarang temen-temen
anggota juga yang ada bisanya ngeluh. Gue pusing, coba lu bayangin nom, masang
sepanduk aja mesti gue, sementara yang lain cuma liatin doank. Gue gak bisa kalau
harus jalani semua ini sendiri nom”.
“Gue ngerti posisi lu,
memang kesadaran akan sebuah tanggung jawab itu timbulnya dari hati, bukan dari
sebuah perintah. Tapi gue pikir ada sisi baiknya hal ini terjadi. Dulu pada
saat kita masih menjadi anggota biasa yang bisanya cuma komentar ataupun
protes, dan sekarang ketika posisi itu telah berpindah ke kita setidaknya kita
bisa sadar, coba lu bayangin sepusing apa para pemimpin kita dulu?”
“hahahaha..lu bener
juga nom.”
“Inilah sebuah
pembelajaran hidup baru buat kita, kita gak akan mengalami masalah ini jika
kita tidak berada pada posisi seperti saat ini. Dan gue yakin ketika semuanya
bisa dilewati, maka pada saat itu satu anak tangga telah kita lewati dan kita
bisa meraih anak tangga selanjutnya, tetap semangat kawan”.
***
Sedikitnya
perbincangan itu lah yang aku ingat antara aku dengan kawanku malam itu,
sebelum akhirnya dia dijemput angkutan umum yang biasa mengantarkannya pulang
kerumah. Dan aku pun mengambil sepeda motor yang aku parkir di dalam kampus,
sembari meyakinkan diri
“aku pun harus mampu menapaki setiap anak tanggaku sendiri”.
Catatan:
Terimakasih kawan atas sebuah pengalaman yang kau bagi
untuku. Mari kita lewati semua fase ini sebagai pembelajaran hidup menuju
kedewasaan. Kau dengan pilihan hidupmu sendiri dan aku dengan pilihanku
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar